Paradoks Stock Dale

  • 0
Seminggu terakhir habis banyak diatas kasur goleran. Sembari disela-sela baca apa yang bisa dibaca, mencerna apa yang bisa di cerna.

Jim Collins dengan Good to Greatnya adalah satu bacaan yang ikut ngehabisin pagi malam uwek. Khas penulis non-fiksi lain, narasinya dipenuhi cerita empiris soal apa yang dia anggap sebagai fakta. Tapi jauh dari data statistiknya, uwek lebih terkesima soal konsep PARADOKS STOCKDALEnya. Tentang kenyataan bahwa kaum optimis adalah orang-orang yang akan pertama tumbang dalam marathon untuk konteks apapun. Idup sering menghantam kita begitu kerasnya, dan optimisme selalu menyalakan lilin untuk kita bisa terus berharap akan 1 meter jalan di depan yang bisa kita lalui. Tapi ternyata, energi kita kadang tidak pernah cukup untuk menghadapi fakta brutal bahwa idup ternyata tidak semudah analogi soal lilin. Terkadang tangan kita tak kuat nahan lelehan lilin, atau tak sengaja lilin tersebut padam, atau bahkan terjatuh. Idup memang tara pernah mudah untuk siapapun. Dan sekali lagi. Optimisme menghancurkan empunya.

Ada hal lebih besar dari soal tetek bengek optimisme. Menahan kuatnya nafas. Seperti halnya dalam cerita Stockdale. Memegang keyakinan soal kita akan survive pada akhirnya, harus dengan underline bahwa, realitas saat ini kudu kita adepin dengan baik dan menperpanjang nafas adalah jalan terbaik untuk menjaga asa.
Uwek menutup chapter tersebut sembari teringat soal beberapa kawan yang saat ini masih berpanjang nafas, sedang yang lain bahkan lupa dia bernafas untuk asa yang mana. Pun tersebut berlaku untuk diri uwek. Sekarang, bagaimana dengan klean?

Tentang Pekerjaan

  • 0

Sedihnya, masih sempat-sempatnya saya temui sebagian dari kita bertingkah bak hakim yang memberi putusan atas apa-apa yang terjadi dalam hidup ini seenak dia membuang upil di kolong meja.

Dengan heroiknya, membanggakan bahwa apa yang dia sedang kerjakan & karyakan sekarang adalah jalur suci penuh kemuliaan sedang lainnya adalah jalur hina dimana batas-batas kemanusiaan (dalam prespektif mereka) diberikan ruang yang sempit untuk bertumbuh.

Mereka lupa, dalam konteks apapun, tangan penuh peluh dan guratan kasar hasil dari kerja atas nafkah yang kita cari, oleh Rasul, seperti dalam kisahnya saat bertemu tukang batu di perjalanannya menuju Madinah, adalah termasuk tangan yang tidak akan tersentuh api neraka sedikitpun.

Semoga Ramadhan merubah kita.

Adab Sebelum Ilmu

  • 0
Ilmu pengetahuan yang susah payah kita dapatkan, kadang membuat kita lupa atas batasan pada diri kita. Melihat Rocky Gerung dengan mudahnya memberikan nomenklatur dungu pada orang-orang yang dia anggap papa atas "ilmu" dan atau prespektifnya, menunjukkan bagaimana Ilmu tersebut membunuh nalar Rocky untuk mengedepankan adab sebelum apapun.

Mengapa Banyak Daerah Kesulitan Air Bersih (Part 1)

Sekian banyak ujaran penghematan air di bergbagai tempat peribadatan yang saya pernah singgahi tak lantas membuat akal saya tergerak. Logika mungkin memberikan ruang pengaminan atasnya, tapi tidak dengan nurani. Begitu seterusnya, sampai semesta membawa saya bertatap muka pada realita pelik kehidupan masyarakat "terluar" Republik. Kata "terluar" tetap akan merepresentasikan kondisi de facto daerah-daerah tersebut, hingga tercabutnya status quo ketidak terjaminnya keadilan sosial.

Juni 2016, kali pertama interaksi sebenar-benarnya saya dengan masyarakat asli Papua/Orang Asli Papua (OAP) terjadi. Tak tanggung-tanggung, Tuhan ijinkan saya pula untuk ijakkan kaki saya di tanah Papua. Menghayati kenikmatan pengalaman dan bukan rasa secara harfiaf atas papeda, sirih, dan.

"Hey, Yuda tara usah kaget, semua su biasa mandi pakai air kuning (zat besi)" Sahut Mama Faridah, Ibu-ibu pegawai negeri sipil di kantor Dinas Peternakan setempat yang dengannya saya banyak habiskan waktu berkegiatan.

Wajah negara untuk meratapi ketidak hadirannya mengurus kebutuhan dasar masyarakat pun saya temui di Bakung. Sebuah kepulauan kecil di bagian timur pulau Sumatra, bersebelahan dengan Singapura, dan bagian dari gugus kepuluan di Tanjung Pinang, Kep. Riau.

Sore itu kapal nelayan teri yang kami tumpangi sandar. Selain konflik horizontal pembakaran Kapal buntut dari perebutan lokasi melaut dengan perkampungan nelayan lain -Tanjung Kelit (Tengklit)-, Bakung juga disibukkan atas perkara ketidak tersedianya air bersih untuk keperluan harian mereka.

Air hanya akan dialirkan dari satu-satunya mata air di Bakung saat malam bersamaan dengan nyalanya generator untuk menopang kebutuhan daya listrik perkampungan nelayan tersebut.

Untuk orang-orang macam saya yang tidak bisa bang hajat dengan tidak mendengar gemericik air. Ini adalah perkara besar.

Facing the quarter life crisis (1)

  • 0
Usia saya saat ini 24 tahun. Beristri. Pekerja swasta.

Everything has always their own consequence. If you chose entering the world where everyone gamble their live at, its mean that you have already old enough to think and take care of your self more deeply.

Ketika kecil, tidak banyak hal yang kita bisa bayangkan akan masa depan. Usia kemudianlah yang membuka cakrawala kita soal betapa "menyeramkannya" hidup setelah masa-masa tanpa beban menjadi anak-anak.

Masa depan selalu begitu menyeramkan bila diimajikan. Karena memang seperti itulah sifat dasar kita. Selalu takut akan hal-hal yang tidak kita ketahui. Dan begitulah kenapa seringkali gelap membuat kita takut. Hal apapun yang datang/kita hadapi saat gelap diluar kemampuan kita untuk memperhitungkannya.

When you reached 20 years old, the complexity of life is just already starting. You will face a lot of choices that need your decision in a proper way and on the right time.

Tetek bengek persoalan memilih jauh lebih komplek dan memusngkan. Tapi begitulah dewasa itu bekerja. Regarding how to fulfill your life through working in a company till how to chose the right couple to marry with. Kurang lebih dua persoalan tersebut semoga bisa mewakili urusan kesemuanya. Walau bagaimanapun juga, keterwakilan itu tetaplah tidak terwakili. Persoalannya jauh lebih menguras peluh diluar imaji yang bisa kita bayangkan.

Mengusahakan Perempuan

  • 0
Sekeras apapun, terlebih soal perasaan. Perempuan selalu punya dua opsi jawaban atas apa-apa yang kita mintakan, "iya", atau "aku ingin lihat usahamu". ㅤㅤ
Dan begitulah saya, umumnya laki-laki 'biasa' lainnya, mendapat opsi jawaban kedua adalah salah satu hal yang saya syukuri dibanding opsi jawaban lain semisal "saya ingin lihat usaha orang lain"

Soal Karya Yang Tidak Belum Menemukan Penikmatnya

  • 0
Dalam prespektif apapun, orang dengan karya akan jauh lebih unggul dibanding lainnya. Mereka hadir dalam manifestasi karya-karya mereka. Dalam bidang apapun, karya itu akan menjelma menjadi sebuah hal yang orang akan terima dan hargai dengan hormat tinggi walau tidak terjadi pada semua karya. 

Menjadi menarik ketika anggapan muncul bahwa orang dengan karya hadir dari lingkungan yang sama dengan lainnya. Bagi saya ini tidak terjadi begitu saja. Analogi waktu yang sama dalam sehari, dengan asupan jenis makanan yang sama, dan lain sebagainya bagi saya it doesn't makes sense. 

Ada bannyak hal yang bila ditarik dalam satu lintasan bahasan akan terlihat bahwa tidak ada yang muncul by nature atau begitu saja. 

Gladwel menyampaikan dalam uraian fenomenal tentang teori 10.000 jam. Sederhananya (dalam teorinya) doing the same thing in more than 10.000 hours could make us a pro.

Dan sedari pertama uraian itu saya baca, deklarasi atas keberpihakan dan pengaminan saya pun dimulai. 

Sialnya, saya tidak pernah suka menghabiskan waktu untuk berkutat dalam satu rutinitas kegiatan. Ini mungkin kesimpulan mengapa saya tidak pernah menjadi master untuk hal apapun.

Desperating Moment After Graduation!

  • 0

Tidak pernah terlalu sulit ataupun terlalu mudah. Begitu kiranya hidup. Selalu berada diirisan antar keduanya.

In fact, entah kenapa, seakan bagian sulit dalam hidup memiliki bagian irisan lebih besar dibanding sebaliknya. Hantaman muncul seakan dengan nomor antriannya masing-masing.

Empat tahun plus enam belas bulan berjibaku. Pada akhirnya, keusaian atas strata pendidikan hanya sekadar mula dari rentetan hal-hal lain yang lebih menyeramkan.

Saya mengalami ini.

Lepas dari gegap gempita hegemoni wisuda, saya dihadapkan di detik itu juga kegamangan untuk bagaimana saya harus menjalani urusan hidup kedepan. School just gives you a brief. Dan pengantar itu tidak pernah akan cukup ketika digunakan sebagai bekal.

Tujuh (7) bulan menjadi beban negara tanpa ada sumbangsih pajak yang bisa dan harus dibayarkan adalah hal pilu dan menjadi kesimpulan dari hari-hari tersebut.

Orang banyak bilang bahwa, grab your dream! But sometimes, we doesn’t realize that we also have a reality to be faced. And the name of those reality is step.

Iya, selalu ada proses untuk kita bisa sampai kepada angan-angan indah yang kita impikan. Dan proses ini tidak hanya soal waktu, tapi juga berapa banyak pos pembelajaran yang harus kita lalui. Saya belajar bahwa menceburkan diri dalam bursa para pencari kerja adalah bukan perkara mudah dan remeh temeh. Seberapapun hebat track record yang kamu pernah bangun, kamu harus ingat bahwa you just a mere person compared to the ocean of people.

Akan selalu ada langit diatas kita, dan oleh karenanya pastikan bahwa kedua tapak kita masih selalu menapak diatas tanah dalam konteks apapun. Terlebih saat memulai sesuatu. 

Perjuangan saya untuk melampirkan berkas portofolio hanya berakhir penantian. Menjadi lebih menyesakkan adalah kondisi ini berlarut hingga dua bulan saya menikah. You can imagine how it feels. Having a people that you need to take care at all, but bahkan untuk membayar hal paling remeh semisal antrian kamar mandi, kamu masih juga mengekor pada orang lain.

What things makes you stand or even proud?

Being a Workforce

  • 0
Counting to how many time I have failed in my life is just a mere things. Accepting those fail is always harder and beyond my expectation.

Getting rejected from the company that you always looking for. And the only truth that you can convey are the deepest condolences happen in your hearth. Yet, we also understand, Crying is not the best way anymore, keep our self silent.

As a workforce.

Instead of being an independent person like I was imagine before. At this phase, I am running from the bad destiny growing my wife without any money. Choosing the only logical way to overcome this situation as a workforce. Giving all my idea and energy all day long to the company, and spend the rest of my time with rupiah that I can take it directly from my card. In many case, inhabitant always suppose this condition in term of "unideal condition" -you can debate this term-. Yet, the pivotal thing is you need to remember that money always have their own position as a "god" in all aspect in the human-life.

Orang-Orang Melayu Pertama: Kesederhanaan Masyarakat Pulau Bakung, Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau (Part-2)

  • 0
"Layaknya banda neira, harus tidak berencana" - Rara Vokalis Banda Neira 
Dan saya bahkan sempat menempatkan hidup saya dalam koridor ke tidak berencanaan itu. Membiarkan semuanya mengalir sesuai rutinitas yang hadir didepan wajah.

Mekanisme seperti itu pulalah yang membawa saya pada banyak hal yang tak terduga. Sungguh baiknya Allah untuk segala sesuatu yang saya terima hingga titik ini.

Bakung misalnya, tidak pernah ada dalam daftar tujuan tempat yang saya singgahi. Terletak 3 jam perjalanan dengan kapal feri dari pelabuhan Batam, bakung tak se-tersohor pulau-pulau di sebelahnya macam bintan dan anambas.

Bakung beserta masyarakat yang hidup didalamnya hidup dalam keluguan tanpa banyak palsu. Berisi orang-orang melayu taat beragama dengan rasa optimisme tinggi untuk kelak bisa berangkat haji ke tanah suci. Seperti halnya Pak Cik Mi bilang "Mudah-mudahan sampai". Begitu mereka mengistilahkan tekad dan optimisme luar biasa untuk kelak kesempatan haji itu akan hadir pada mereka.

Pak Cik Mi pulalah yang pernah sempat membuat Saya tertegun lewat pertanyaan sederhana tentang bagaimana hidup dengan lalu lintas padat kendaraan.

"Tak bisingkah mobil?" begitu sahut beliau.

Sepanjang hari asal ada solar untuk melaut, masyarakat pulau bakung akan menghabiskan waktu dilaut mencari teri atau sotong. Jika dalam satu jam tak dapat, mereka akan pulang untuk sore harinya berangkat kembali. Teri tersebut bak padi bagi mereka. 20 kilo sekali berangkat akan membawa berkah lebih dari satu juta rupiah per awak kapal. Disana tak banyak yang memiliki kapal sendiri. Menjadi awak kapal adalah pilihan terbaik untuk menyambung hidup bagi sebagian besar dari mereka. Jika hari itu mereka tak dapat tangkapan sama sekali, kesabaran tinggi menjadi hal terbaik yang mereka bisa pegang teguh. Kita boleh hancur, tapi tidak dengan harapan kita. Karena itu yang membuat kita tetap hidup. Begitu kira apa yang mereka pahami dari hidup.

***

AddThis Smart Layers

Back to Top