Orang-Orang Melayu Pertama: Kesederhanaan Masyarakat Pulau Bakung, Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau (Part-2)

  • 0
"Layaknya banda neira, harus tidak berencana" - Rara Vokalis Banda Neira 
Dan saya bahkan sempat menempatkan hidup saya dalam koridor ke tidak berencanaan itu. Membiarkan semuanya mengalir sesuai rutinitas yang hadir didepan wajah.

Mekanisme seperti itu pulalah yang membawa saya pada banyak hal yang tak terduga. Sungguh baiknya Allah untuk segala sesuatu yang saya terima hingga titik ini.

Bakung misalnya, tidak pernah ada dalam daftar tujuan tempat yang saya singgahi. Terletak 3 jam perjalanan dengan kapal feri dari pelabuhan Batam, bakung tak se-tersohor pulau-pulau di sebelahnya macam bintan dan anambas.

Bakung beserta masyarakat yang hidup didalamnya hidup dalam keluguan tanpa banyak palsu. Berisi orang-orang melayu taat beragama dengan rasa optimisme tinggi untuk kelak bisa berangkat haji ke tanah suci. Seperti halnya Pak Cik Mi bilang "Mudah-mudahan sampai". Begitu mereka mengistilahkan tekad dan optimisme luar biasa untuk kelak kesempatan haji itu akan hadir pada mereka.

Pak Cik Mi pulalah yang pernah sempat membuat Saya tertegun lewat pertanyaan sederhana tentang bagaimana hidup dengan lalu lintas padat kendaraan.

"Tak bisingkah mobil?" begitu sahut beliau.

Sepanjang hari asal ada solar untuk melaut, masyarakat pulau bakung akan menghabiskan waktu dilaut mencari teri atau sotong. Jika dalam satu jam tak dapat, mereka akan pulang untuk sore harinya berangkat kembali. Teri tersebut bak padi bagi mereka. 20 kilo sekali berangkat akan membawa berkah lebih dari satu juta rupiah per awak kapal. Disana tak banyak yang memiliki kapal sendiri. Menjadi awak kapal adalah pilihan terbaik untuk menyambung hidup bagi sebagian besar dari mereka. Jika hari itu mereka tak dapat tangkapan sama sekali, kesabaran tinggi menjadi hal terbaik yang mereka bisa pegang teguh. Kita boleh hancur, tapi tidak dengan harapan kita. Karena itu yang membuat kita tetap hidup. Begitu kira apa yang mereka pahami dari hidup.

***

Jeda susur hutan
Tiga hari di Bakung adalah hari-hari penuh peluh. Pengambilan sampel semestinya harus kami lakukan di keseluruhan dataran pulau Bakung dengan luasan lebih dari 24.000 ha. Lebih dari 8 kali lipat luasan wilayah provinsi DI Yogyakarta.

Hari pertama perjalanan saya masuk hutan Bakung ditemani Pak Cik Mi dan Bang Sarikam. Ketiga teman saya lain mengambil rute berbeda dengan masing-masing ditemani satu-dua warga setempat. Bagi saya, hari pertama adalah hari penuh coba.

Pak Cik Mi
Setelah berjalan lebih dari dua jam susur masuk hutan dengan sampel tanah dan air di ransel, nasib membawa kami bertemu dengan   atau tawon hutan. Bang Sarikam tak sengaja injak sarang yang saya juga sempat terheran karena letaknya yang berada dibawah. Tak seperti biasanya yang menggantung di ranting pepohonan.

Sepersekian detik kemudian kami lari dengan tetap memperhatikan jalan yang tak nampak seperti jalan. Pohon dan semak menutupi area gerak kami. Hasilnya kami tak leluasa berlindung dan kami bersama mendapati tubuh Bang Sarikam penuh tawon di dada, punggung, dan pahanya.

Bang Sarikam
Belakangan kami menyadari bahwa tangan Bang Sarikam juga tak luput dari sengatan. Ini tampak dari bengkaknya lengan Bang Sarikam sampai-sampai lengan panjang baju Bang Sarikam tak muat untuk di tarik menutupinya.

Sialnya, coba tak henti sampai di sana.

Baru lepas kami lari dari tawon dan menggelar bekal makan siang, Babi hutang beranak lari ke arah kami. Tak ada pilihan untuk kami berdiam. Kami lari.

Lari kedua kalinya ini membawa kami jauh keluar dari rute yang Pak Cik Mi dan Bang Sarikam tau. Kami tersesat. 

Sinyal HT tak kuat menjangkau keberadaan teman-teman kami lain. Bagi kami, asal menemui pantai kami akan pulang. Sesederhana itu. Cari arah laut dan kami selamat. Namun begitulah kenyataan lapangan. Layar GPS tak mampu menunjukkan mana lokasi dataran tinggi dan mana dataran rendah. Akibatnya, sering kali GPS hanya membawa kami menuju tebing alih alih pantai landai yang kami susuri.

Setelah sekian lama. Kami putuskan untuk mengambil resiko untuk menuruni tebing curam di tebing kesekian yang kami temui terakhir kali. Kami menemukan sungai Bakau kering. Penyusuran Bakau tersebut membawa kami ke pantai sekian belas kilo meter dari perumahan penduduk. Kami selamat dengan membawa banyak luka gores di wajah dan lebam di tubuh. 

Rute perjalanan hari pertama dengan panjang 25 kilometer


Tidak ada komentar:

AddThis Smart Layers

Back to Top