Kebijakan impor daging
kerbau mulai diambil sejak muncul putusan PP No. 4/2016 yang kemudian
dijabarkan melalui SK Mentan No. 2556/2016 pada tanggal 8 Juni 2016
sebagai bentuk kebijakan operasional di bawahnya dimana materinya
mengenai membuka keran impor daging dari India.
Dimulai dari awal
September Pemerintah melalui Perum Bulog sudah mulai mengimpor 10 ribu
ton daging kerbau dari India. Impor ini rencananya akan dilakukan secara
bertahap dengan estimasi selesai pada
akhir September. Tidak hanya itu, pada Oktober-Desember 2016 Bulog akan
kembali mengimpor daging kerbau sekitar 70 ribu ton. Pemerintah percaya
hadirnya daging kerbau dipasaran akan mampu untuk menekan tingginya
harga daging sapi yang sempat mencapai angka 120rb per kilo gramnya.
Kenyataan bahwa daging kerbau menawarkan nilai protein yang setara
dengan daging sapi namun dengan harga yang jauh lebih murah, tidak
mengurangi ketakutan akan risiko yang muncul sebagai efek samping dari
hadirnya daging kerbau India di Indonesia. Karena seperti kita ketahui
India sampai saat ini belum dinyatakan bebas Penyakit Mulut Kuku (PMK).
Indonesia memiliki sejarah kelam dalam menangani PMK pada tahun
1887-1986 (100 tahun), dengan kerugian ekonomi menurut Ditjen Peternakan
(2002) mencapai US$ 1,66 miliar.
Belum lagi ditambah kenyataan dilapangan bahwa segmentesi daging kerbau yang belum terlalu luas membuat daging kerbau yang secara fisik jauh berbeda dengan daging sapi, diragukan untuk bisa mensubtitusi permintaan daging sapi di pasaran. Salah-salah, daging kerbau impor hanya akan mampu bersaing langsung dengan daging ‘secondary cut’ dan jeroan dari Australia yang dampaknya tidak akan berpengaruh jauh terhadap turunnya harga daging sapi nasional.
Resiko yang pemerintah pertaruhkan untuk menurunkan harga daging dipasaran cukuplah besar. Fluktuasi harga daging beberapa bulan kedepan sedikit banyak akan memacu adrenalin para elit di pemerintahan.
Juli lalu, polemik harga daging sudah memakan korban dengan dicopotnya Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) yang memimpin 13 bulan, (siapa berikutnya?).
Belum lagi ditambah kenyataan dilapangan bahwa segmentesi daging kerbau yang belum terlalu luas membuat daging kerbau yang secara fisik jauh berbeda dengan daging sapi, diragukan untuk bisa mensubtitusi permintaan daging sapi di pasaran. Salah-salah, daging kerbau impor hanya akan mampu bersaing langsung dengan daging ‘secondary cut’ dan jeroan dari Australia yang dampaknya tidak akan berpengaruh jauh terhadap turunnya harga daging sapi nasional.
Resiko yang pemerintah pertaruhkan untuk menurunkan harga daging dipasaran cukuplah besar. Fluktuasi harga daging beberapa bulan kedepan sedikit banyak akan memacu adrenalin para elit di pemerintahan.
Juli lalu, polemik harga daging sudah memakan korban dengan dicopotnya Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) yang memimpin 13 bulan, (siapa berikutnya?).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar