Ini adalah cerita mengenai pendidikan. Cerita mengenai
sekelumit semangat dibalik segala keterbatasan fasilitas dan hal lain yang
seakan menggradasi pendidikan di daerah saya. Andrea Hirata boleh saja
bercerita mengenai sosok lintang dan semua teman laskar pelanginya yang
mengajarkan mengenai makna semangat yang sebenarnya dalam menuntut ilmu di
daerah pedalaman Belitong. Anies Baswedan bolehlah bercerita mengenai gerakan
Indonesia mengajarnya yang bertujuan untuk mendorong usaha dalam mencerdaskan
bangsa di Indonesia. Dan tentu boleh saja saya bercerita mengenai semangat
melanjutkan pendidikan tinggi yang dimiliki teman-teman dari daerah saya yang
saat ini mungkin sedang dilanda kerisauan hati untuk melanjutkan pendidikannya.
Ini adalah misi kami, misi rekan-rekan Ikatan Mahasiswa
Bojonegoro – Yogyakarta yang berusaha “membangkitkan” motivasi teman-teman
murid kelas 12 disekolah-sekolah menengah atas di Bojonegoro untuk melanjutkan
pendidikan tinggi. Ya, cukup melanjutkan pendidikan tinggi. Tanpa tendensi dan
penekanan untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi manapun, lebih-lebih ke PTN
Favorit. Harapan yang sangat sederhana melihat segala hal kami rasa masih bisa
diperjuangkan. Masih.
Mungkin menemukan teman-teman yang memiliki semangat belajar
untuk melanjutkan pendidikan tinggi di kota-kota besar bak mencari belalang
merah muda dalam hijaunya rerumputan yang kerap beberapa kali ditemukan di
Osaka, Jepang. Mudah. Namun, lain daerah juga lain ceritanya.
Menemukan 5 dari 25 siswa kelas didaerah garis “terdepan” kota Bojonegoro yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi adalah sebuah hal yang patut disyukuri. Ya walaupun itu mungkin baru sekadar semangat.
Menemukan 5 dari 25 siswa kelas didaerah garis “terdepan” kota Bojonegoro yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi adalah sebuah hal yang patut disyukuri. Ya walaupun itu mungkin baru sekadar semangat.
“Ingin melanjutkan Akademi Militer di Jakarta mas, heheh...”
Begitulah kira-kira jawaban seorang gadis tambun dengan kulit agak gelap murid
kelas 12 salah satu sekolah setingkat SMA di Kecamatan Padangan, sebuah Kecamatan di Barat kota Bojonegoro, ketika saya mencoba menilik semangatnya
untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Saya lupa tepatnya nama gadis itu siapa.
Mungkin bayang-bayang mengenai semangat gadis tersebut seakan membuat saya
terlena sehingga untuk sekedar mengingat namanya pun saya tidak terbersit
keinginan lebih sedikitpun. Saya tertegun memikirkan segala tetek mbengek
prosedur dan segala hal yang akan dilalui gadis tersebut untuk masuk sebuah
akademi militer. Ya dia seorang gadis, dan dia ingin melanjutkan ke Akademi
Militer di Jakarta. Ya, itu cita-cita. Cita-cita yang kemudian membuat saya
tertegun.
Saya takut untuk mengeluarkan barang sepatah katapun saat
itu. Saya takut nantinya kata yang keluar dari mulut saya adalah kata yang akan
menggradasi semangat gadis itu. Ya saya takut dengan segala pemikiran pesimis
mempertimbangkan segala hal yang ada dengan hasil yang akan diperoleh. Ya untuk
kesekian kalinya saya hanya diam.
Itu semangat, semangat yang semoga menuai “keberuntungan”
dengan segala harapan dan doa yang saya haturkan untuk gadis itu. Saya orang
yang tidak percaya akan keberuntungan. Sebuah hal yang oleh orang bijak
keberuntungan hanya akan terjadi ketika terbentuk sebuah titik perpotongan
antara dua kurva, kurva usaha dan kurva doa. Namun saya adalah orang yang
memiliki harapan, harapan agar apa yang gadis itu penjuangkan semoga diberikan
kemudahan dan semoga diberikan yang terbaik. Terbaik dari-Nya untuk masa depan
gadis itu.
Masih beberapa hari lagi untuk saya dan rekan-rekan
melanjutkan hari-hari memasuki kelas-kelas di sekolah-sekolah menengah atas di
kota kami. Semoga harapan kami tidak sirna. Sebuah harapan yang sangat
sederhana melihat segala hal kami rasa masih bisa diperjuangkan. Ini perjuangan
kami untuk sekedar menggerakkan semangat pendidikan di kota kami, Bojonegoro.