Kesepakatan
perdagangan bebas antara China dan Australia ditandatangani secara resmi Juni (17/6/2015)
lalu. Keputusan ini diambil setelah dilakukan perundingan bertahun-tahun.
Muncul asumsi dan ketakutan beragam atas implikasi dari perjanjian perdagangan
tersebut. Terlebih, terhadap peta pasokan daging ke-Indonesia kedepan.
China diproyeksikan
menjadi pasar yang menjanjikan bagi Australia. Kita simak saja jumlah pendduk
mereka yang hampir mencapai angka 1,5 milyar jiwa. Kita korelasikan dengan
angka konsumsi daging mereka yang mencapai 4,1 Kg/kapita/tahun. Jika kita
bandingkan dengan Indonesia. Kita akan melihat bagaimana Australia bermain
taktis untuk hal ini.
Keterbukaan
China untuk menerima pasokan daging dari Australia, praktis, memberikan
tambahan opsi yang dapat di ambil oleh Australia dalam memasarkan dagingnya. Tidak
hanya berkutat dan terbatas di Indonesia seperti halnya sebelumnya.
Hal yang
menarik adalah Indonesia saat ini masih menjadikan Australia prioritas utama
untuk memenuhi pasokan daging dalam negeri. Ketergantungan ini harus segera di evaluasi.
Kedepan, bukan tidak mungkin jika Australia memilih untuk tidak mengekspor sapi
mereka ke Indonesia.
Melihat opsi lain
Sebenarnya,
kita memiliki opsi lain untuk melakukan Impor daging dari India dan Brazil. Kita
tidak harus selalu berkutat dengan tetangga dekat kita, yang sedikit banyak
sering berbuat gaduh dengan kita. Opsi ini akan menjadi angan-angan melihat
kita terkendala permasalahan mendasar bahwa kedua Negara tersebut belum bebas
Penyakit Kuku dan Mulut (PMK).
Opsi ini
pun harus di barengi dengan adanya konsekuensi logis. Indonesia bisa saja
memilih daerah khusus di Brasil dan India untuk jadi sumber sapi, namun sistem
impor dalam UU peternakan harus diubah menjadi zone base.
Pemberlakukan
zone base sebelumnya dianulir oleh
Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap bertentangan dengan UUD. MK menjadikan
sistem impor sapi mengacu pada sistem basis negara atau country base, yang
berarti impor daging dan sapi hidup harus didatangkan dari negara-negara yang bebas
dari penyakit mulut dan kuku (PMK).
Revisi
Undang-Undang
Proses
revisi Undang Undang No.18/2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan telah
diusulkan antara Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Pertanian
(Kementan) sejak 2013. Revisi ini bertujuan untuk dapat mengimplementasikan
sistem zone base. Yaitu pemerintah
terlebih dahulu harus membangun satu buah pulau karantina khusus. Tujuannya
adalah untuk memeriksa sapi hidup yang berasal dari India dan Brasil agar
mendapatkan jaminan terbebas dari penyakit mulut dan kuku (PMK). Sebelum
kemudian dapat di distribusikan.
Sebelum di
sahkan pada tahun 2014 lewat Undang-Undang
(UU) nomor 41/2014. Peraturan UU No.18/2009 mengatur Indonesia hanya
boleh mengimpor sapi hidup dan daging sapi dari negara-negara bebas PMK seperti
Australia, Selandia Baru, dan AS. Secara tidak langsung aturan Undang-Undang
No.18/2009, sedikit banyak memaksa kita, untuk menjaga keharmonisan impor
daging sapi kita dengan Australia.
Namun, saat
ini kita memiliki daya tawar yang kurang lebih sama. Kita sama-sama memiliki
opsi kedua. Tidak ada yang perlu di risaukan. Ada opsi lain yang bisa kita
ambil. Ada jaminan untuk pasokan daging kita. Namun, ketergantungan kita masih
tetap harus dicetak tebal dan bergaris bawah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar